KOMPAS.com – Ada yang menarik dari pertemuan bilateral pertama antara Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbot, sesaat setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2014 lalu. Ada dua hal penting disampaikan PM Abbot selama pertemuan hanya selama 15 menit tersebut, yaitu tentang investasi dan pendidikan khususnya tentang pertukaran pelajar (student exchange).
Mengapat isu pertukaran pelajar menjadi begitu penting sehingga harus dibawa ke pertemuan bilateral oleh kedua kepala pemerintahan tersebut? Australia memang berkeinginan mengirim lebih banyak lagi mahasiswanya ke Indonesia untuk belajar di dan/atau tentang Indonesia melalui program pertukaran pelajar.
Australia sangat “sadar” dengan posisi strategis Indonesia baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Maka, lebih banyak pelajar Australia mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang Indonesia akan lebih “menguntungkan” mereka.
Lebih jauh lagi, Australia memandang pentingnya international student mobility sebagai salah satu kunci pengembangan sumber daya manusianya yang berwawasan global dan nantinya akan bermuara kepada perkembangan ekonomi negara. Pertanyaannya, sedemikian penting kah international student mobility?
Gengsi
China dan India tercatat sebagai negara dengan jumlah outbound international student mobility terbesar di dunia. Masing-masing mencatat jumlah hampir 700 ribu dan 200 ribu mahasiswa. Sebaliknya, baru sekitar 40 ribu mahasiswa Indonesia pada saat ini yang menuntut ilmu di luar negeri.
Bagi sebagian besar masyarakat China dan India, pendidikan merupakan investasi utama, bahkan bisa jadi lebih penting dari kebutuhan primer lain, misalnya pangan, pakaian, dan papan, serta barang-barang konsumtif, antara lain mobil, gadget, atau barang-barang elektronik. Mereka bahkan rela “berhutang” dengan fasilitas student loan untuk bisa mendapatkan pendidikan tinggi yang bermutu baik.
Ada apa di balik motivasi mereka yang begitu menggebu-gebu untuk bersekolah di luar negeri? Apakah karena gengsi? Padahal, jika diamati, sebagian besar pelajar asal China dan India yang bersekolah di luar negeri berasal dari keluarga berlatar belakang sosial biasa-biasa saja.
Memang, baik China, India dan negara-negara lain seperti Korea, Malaysia atau Vietnam yang memiliki tingkat outbound international student mobility cukup tinggi, sepertinya sangat menyadari bahwa percepatan pertumbuhan suatu negara sangat ditentukan oleh percepatan pertumbuhan kualitas sumber daya manusianya. Mereka sadar, bahwa menuntut ilmu di luar negeri bukan saja untuk mendapatkan ilmu secara kognitif (academic skills). Lebih dari itu, mereka mengingingkan ilmu dan ketrampilan bersifat afektif dan psikomotorik, misalnya critical thinking, problem solving, communication, collaboration dan creativity/invention yang justru sangat dibutuhkan dalam persaingan global.
Secara umum, ada hubungan linier antara meningkatnya mobilitas pelajar ke luar negeri dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Negara-negara seperti Malaysia dan Vietnam yang 25 tahun lalu masih menjadi “underdog”, secara perlahan namun pasti sudah mulai “menyalip” Indonesia, yang dunia pendidikannya masih saja sibuk mengkaitkan bersekolah di luar negeri dengan anti-nasionalis, sibuk gonta-ganti kurikulum, atau sibuk dengan persaingan internal di dalam perguruan tinggi dengan mengusung jumlah guru besar yang dimiliki, atau sibuk dengan masalah alokasi dana riset yang tak juga rampung-rampung.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja direstrukturisasi itu seharusnya mendorong dan memotivasi para pelajar untuk menggapai kesempatan belajar ke luar negeri seluas-luasnya sebagai salah satu agenda utama mereka. Kebijakan Kemdikbud harus berpihak pada usaha-usaha meningkatkan mobilitas internasional pelajar, baik dari maupun ke Indonesia. Caranya, misalnya, penyediaan beasiswa bagi pelajar berprestasi, student loan, dan termasuk di dalamnya memberi kemudahan bagi pelajar asing untuk bisa kuliah di Indonesia atau inbound international student mobility antara lain dengan memberi kemudahan visa pelajar dan sebagainya. Hal-hal itu secara langsung juga dapat mengakselesari proses internasionalisasi pendidikan tinggi nasional.
Nilai tambah
Menjadi kompetitif secara global adalah suatu keniscayaan di situasi dimana dunia menjadi semakin terbuka dan “unprotected”. Berdasarkan pengamatan para mahasiswa yang kuliah di luar negeri, sebagian besar menggarisbawahi bahwa nilai tambah terbesar yang mereka dapatkan adalah soft skills dan personal development. Kedua hal itu justru menjadi penentu keberhasilan karir mereka setelah kembali ke tanah air.
Lailly Prihatiningtyas (29), Dirut BUMN termuda, yang sempat mengenyam pendidikan di Belanda untuk mendapatkan gelar magister di bidang akuntansi mengatakan, bahwa sistem pengajaran yang mengedepankan diskusi dan mengemukakan pendapat secara terbuka, dan juga belajar di lingkungan sangat kental nuansa internasionalnya telah melatihnya menjadi kritis, dapat memahami dan menyelesaikan bermacam masalah dengan pendekatan multikultur. Hal itu kurang dia dapatkan pada waktu menempuh pendidikan di dalam negeri, yang secara umum masih berorientasi ke pengetahuan kognitif semata dan menempatkan indeks prestasi (IP) masih menjadi indikator utama.
Pendidik Rhenald Kasali juga menekankan pentingnya mahasiswa mempunyai international exposure. Dia mengatakan, “Setiap mahasiswa harus memiliki surat izin memasuki dunia global”.
Tanpa itu, mereka akan kesepian, “kuper”, serta terkurung dalam kesempitan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Padahal, dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju dalam bentuk pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan kearifan.
Jadi, rasanya, sudah saatnya kita mengubah cara pandang yang menganggap bahwa kuliah di luar negeri hanyalah suatu kemewahan demi gengsi semata. Kita memerlukan percepatan di bidang pendidikan untuk bisa mengimbangi percepatan perubahan di dunia.
Asean Economic Community 2015 sudah di depan mata. Posisi Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ini, dan juga fakta bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, membuat posisi Indonesia semakin “seksi” di mata dunia. Namun, otomatis itu semua membuat tantangan semakin besar, karena ditambah dengan tantangan global lainnya.
Sejarah membuktikan, bahwa banyak pemimpin bangsa seperti Syahrir, Hatta, Habibie dan Gus Dur justru menemukan “eureka”-nya pada saat mereka menuntut ilmu di “negeri orang”, yaitu pada saat mereka berada di luar zona kenyaman mereka. Rasanya, Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, pun setuju kalau menuntut ilmu ke manca negara sejalan dengan konsep dasar pendidikan nasional kita yang dilahirkannya, yaitu bukan saja untuk mendapatkan ilmu kognitif (ngerti), tetapi juga ilmu afektif (rasa)/soft skills, wawasan dan psikomotorik (nglakoni). Karena, hanya dengan ilmu yang terintegrasi itulah, generasi muda kita mampu menjawab tantangan masa depan yang jauh lebih besar.